RSS

ALINEA BARU

Tesss. Setitik air hujan mendarat tepat di punggung tangan Ansya yang sedang menggenggam erat besi jembatan dengan penuh benci. Dengan posisi wajah yang ditengadahkan ke langit untuk menantang titik-titik air hujan yang telah menggantikan tugas sang gerimis, membiarkan dirinya menggigil begitu saja dibaluti air. Tanpa sadar, sekilas Ansya telah menarik perhatian orang-orang yang kebetulan melewati jembatan. Mengira gadis yang masih belia itu ingin segera meninggalkan hidupnya. Tapi tak lama, sebab kemudian Ansya pun beranjak pergi.
“Aku tak pernah ingin meninggalkan hidup. Tapi justru hidup itulah yang akan segera meninggalkanku.” Ucapnya lirih sambil mengendarai motornya menuju rumah.
Sesampainya di rumah,,, Home Sweet Home….
Oh ya??? Sayangnya itu gak berlaku buat Ansya.
Brak…
“Lihat anak itu! Kerjaannya kalau gak bikin onar, pasti keluyuran. Selama ini apa yang kamu lakukan sebagai seorang ibu, hah?” Kata ayah Ansya tajam setelah sempat mengagetkannya dengan satu gebrakan keras ke meja.
“Jangan bisanya nyalahin aku donk. Ansya kan juga tanggung jawab kamu!” Balas ibunya tak mau kalah.
“Aku tuch kepala rumah tangga di sini. Tugasku itu, ya mencari nafkah untuk kalian, bukannya ngurusin anak.”
“Tapi kamu jangan lupa ya, aku juga kerja. Jadi kalau kamu jadiin pekerjaan kamu sebagai alasan untuk menyerahkan Ansya sepenuhnya sama aku, aku juga pantas protes donk…”
“Kamu tuch ibunya!”
“Yah, kamu sendiri ayahnya!”
“Udah, pokoknya mulai besok kamu tinggalin kerjaan kamu. Urusin aja Ansya! Apa kata orang-orang nanti ngeliat anak perempuan kayak dia keluyuran nggak jelas tengah malam gini.”
“Oh,, nggak bisa gitu donk!”
“Harus!!!”
“Nggak!!!”
“Udah,,, STOP!!!!!!!!!!!!” Nach Lho?? Kentara banget kalau Ansya udah gak tahan dengan situasi ini. Orangtuanya yang gak pernah bisa mendefinisikan diri mereka masing-masing sebagai ibu dan ayah yang baik menyebabkan pertengkaran di rumah itu semakin tak terelakkan. Maka dari itu, Ansya pun bergegas ke kamar dan mengemasi barang-barang yang ia perlukan. Setelah merasa yakin barang-barangnya yang penting udah berpindah ke ranselnya, Ansya pun menghampiri kembali ayah-ibunya yang ternyata berdiri di depan pintu kamarnya.
“Dengar baik-baik karena mungkin ini terakhir kalinya Ansya ngomong sama ayah dan ibu. Kalian gak usah repot-repot peduliin Ansya. Ansya bisa ngejaga diri sendiri tanpa bantuan siapapun dan tanpa ngerepotin ayah sama ibu.” Katanya sambil berusaha keras menahan air mata. Ia tak ingin terlihat cengeng di depan orang lain, termasuk ayah dan ibunya.
“Dan ayah… Setau Ansya ayah gak pernah nganggep Ansya anak perempuan. Bahkan mungkin gak pernah nganggep Ansya sebagai anak ayah. Karena dari dulu ayah hanya ingin anak lak-laki kan,,, IYA KAN???”
“Lagian kalau ayah tetap gak sudi punya anak kayak Ansya, silahkan hapus nama Ansya dari daftar keluarga ini. Ansya sama sekali gak keberatan kok. Asal ayah dan ibu puas!!!” Kata Ansya dan segera mengakhiri ‘obrolan’ menyebalkan itu dengan segera berlari ke luar, menstater motornya dan menarik gas sekencang-kencangnya. Sempat terdengar suara ibunya menangis sambil menjeritkan namanya, tapi apa boleh buat… yang diinginkannya sekarang hanya mencari ketenangan….
Aku pergi meskipun perih
Meskipun tak mengerti,,
Sebab hidup yang ingin ku raih bukan yang seperti ini…
Begitulah, satu alinea puisi yang hidup dalam jiwa Ansya, seorang pemimpi sejati… yah,, hanya pemimpi sejati,, sebab satu pun dari mimpinya tak ada yang menjadi kenyataan hingga kini, hingga gadis itu berusia 18 tahun…

@ @ @ @
And U can’t changed me
Cause we loss did all
Nothing last forever
I’m sorry I can’t be perfect
Simple Plan pamer suara lagi untuk ngebangunin Ansya dari mimpi-mimpinya. Ugh,,, welcome to the real world, the damning life… serunya dalam hati. Actuality, Ansya harus berangkat kuliah, karena ini memang bukan hari libur… tapi sebodo’ amat, virus BT bener-bener lagi menginfeksinya. Dia hanya pengen nenangin diri dulu, makanya tadi malam sewaktu akan beranjak tidur ia sempat mengingatkan Vika (teman sefakultasnya) agar tidak membangunkannya untuk pergi ke kampus. Yupz,, Ansya emang nginep di rumah kos-an Vika untuk sementara waktu sampai dia nemuin kos-an yang cocok.
Setelah mandi, Ansya menyempatkan diri membuka sebuah amplop berwarna coklat berisi selembar kertas. Ya, hanya selembar kertas, tetapi sanggup merobek-robek hatinya sejak dua tahun lalu, sejak pertama kali ia membaca pernyataan di kertas itu yang menyatakan bahwa ia… mengidap kanker otak. Tak ada yang tahu apa yang dia alami, sebuah rasa dari rahasia yang dia sembunyikan dari semua orang… dia tak mau dikasihani, dan tak akan pernah mau… “Kita lihat apa yang masih bisa aku lakuin di sisa hidupku ini…” ucapnya ketika berhadapan dengan refleksi bayangannya di cermin. Ada sebuah kepasrahan di sana, di wajah oval putih (bahkan nyaris pucat) dengan mata lelah dan bibir yang sejak beberapa tahun terakhir menjadi sulit untuk menyunggingkan senyum. Gadis itu pun segera beranjak mengendarai sang kuda besi dan melaju ke tempat favoritnya.
Sungai… sebuah aliran sungai dengan suasana alam yang sama sekali belum terjamah oleh polusi, dengan nuansa pegunungan yang sanggup membuat hatimu tentram. Inilah tempat favorit Ansya…
“Mau nantangin cuaca ya, Girl?” sahut sebuah suara tiba-tiba. Ansya menatap tajam ke asal suara itu. Ugh,, gangguin ketenangan orang aja…
“I’m not a girl you know! Moreover, Who are you? Aku sama sekali gak kenal kamu. So,, silahkan cari aktivitas kamu sendiri dan jangan menganggu…

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS