RSS

PROSPEK BANK SYARIAH DALAM PENGEMBANGAN PEREKONOMIAN BANGSA INDONESIA

1. Pendahuluan
Lembaga perbankan merupakan salah satu tulang punggung perekonomian suatu Negara. Di Indonesia, jumlah bank cukup banyak, yaitu 240 buah bank sebelum dilakukan likuidasi tahap pertama pada tahun 1999. Namun, dengan belum berakhirnya krisis moneter/ekonomi, semakin banyak bank yang bermasalah, akibatnya bertambah banyak pula bank yang dilikuidasi. Salah satu masalah yang muncul adalah bank menghadapi negative spread, maka bank dapat mencari solusi lain, seperti system bagi hasil yang ditawarkan bank syariah.
Indonesia bukanlah Negara pertama yang menerapkan lembaga keuangan berdasarkan prinsip syariah. Beberapa Negara yang telah lebih dahulu menerapkannya antara lain adalah Arab Saudi, Mesir, Sudan, Pakistan, dan Malaysia. Tetapi sekarang sudah cukup banyak Negara yang menerapkan system syariah, termasuk di beberapa Negara Barat. Ada Negara yang sepenuhnya menerapkan system syariah sebagai landasan operasional system keuangannya, misalnya Arab Saudi dan Sudan. Kebanyakan Negara, termasuk Indonesia, memberikan pilihan lembaga-lembaga keuangannya untuk menerapkan system konvensional dan atau syariah dalam pengelolaan lembaga keuangannya.
Periode 1990-an sebagai periode yang sangat bersejarah di mana sektor keuangan Indonesia semakin marak dengan hadirnya lembaga-lembaga keuangan yang beroperasi berdasarkan prinsip-prinsip ajaran Islam atau syariah Islam. Ciri pokok dari lembaga-lembaga keuangan ini adalah tidak menerapkan sistem bunga sebagai alat koordinasi antara lembaga keuangan dengan para nasabahnya. Hal ini disebabkan ajaran Islam melarang pengenaan riba, yang oleh banyak pemuka agama Islam ditafsirkan sebagai larangan memungut bunga. Artinya bahwa, periode sebelumnya bank syariah tidak diperkenankan karena belum adanya payung hukum berupa perundang-undangan, sekalipun konstitusi negara Republik Indonesia UUD 1945 memberikan peluang untuk itu.
2. Pengertian Bank Syariah dan Landasan Hukumnya
a. Pengertian Bank Syariah
Bank syariah menurut Mandala Manurung dan Prathama Rahardja (2004:223) adalah bank yang menjalankan fungsi intermediasinya berdasarkan prinsip-prinsip syariah Islam. Bank syariah merupakan salah satu lembaga keuangan dari beberapa lembaga keuangan yang beroperasi berdasarkan prinsip-prinsip syariah.
Selanjutnya, Karnaen A. Perwaatmadja berpendapat bahwa “bank syariah adalah bank yang beroperasi sesuai dengan prinsip-prinsip Islam, yakni bank dengan tata cara dan operasinya yang mengikuti ketentuan-ketentuan syariah Islam.” (Dalam Muhammad Firdaus NH, Sofiniyah Ghufron, dkk. 2005:18)
Senada dengan pengertian-pengertian di atas, Warkum Sumitro berpendapat bahwa “bank syariah merupakan bank yang tata cara operasionalnya didasarkan pada tata cara bermuamalah secara islami, yakni mengacu pada ketentuan-ketentuan Al-Qur’an dan Hadits”. (Dalam Muhammad Firdaus NH, Sofiniyah Ghufron, dkk. 2005:19)
b. Landasan Hukum Bank Syariah
Bank syariah secara tersendiri diatur dalam UU No. 21/2008, namun sebelumnya diatur bersama-sama dengan bank konvensional sejak diamandemennya UU No. 7/1992 dengan UU No. 10/1998 dan UU No. 23/1999 tentang Bank Indonesia. Pasal 1, ayat 3 dan 4 UU No. 10/1998 menyatakan bahwa Bank Umum maupun Bank Perkreditan Rakyat dapat melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional atau berdasarkan prinsip syariah.
Selanjutnya, dalam pasal yang sama pada ayat 12, dinyatakan bahwa pembiayaan berdasarkan prinsip syariah adalah:
“…pembiayaan uang atau tagihan yang dipersamakan dengan itu berdasarkan persetujuan atau kesepakatan antara bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak yang dibiayai untuk mengembalikan uang atau tagihan tersebut setelah jangka waktu tertentu dengan imbalan atau bagi hasil.”
Sedangkan pada ayat 13 dinyatakan tentang apa yang dimaksud dengan prinsip syariah, yaitu:
“Prinsip syariah adalah aturan perjanjian berdasarkan hukum Islam antara bank dan pihak lain untuk penyimpanan dana dan/atau pembiayaan kegiatan usaha, atau kegiatan lainnya yang dinyatakan sesuai dengan syariah, antara lain pembiayaan berdasarkan prinsip bagi hasil (mudharabah), pembiayaan berdasarkan prinsip penyertaan modal (musharakah), prinsip jual beli barang dengan memperoleh keuntungan (murabahah), pembiayaan barang modal berdasarkan prinsip sewa murni tanpa pilihan (ijarah), atau dengan adanya pemindahan kepemilikan atas barang yang disewa dari pihak bank oleh pihak lain (ijarah wa iqtina).”
3. Prinsip-prinsip Dasar Operasional Bank Syariah
Bank syariah dikategorikan sebagai lembaga keuangan karena menjalankan fungsi intermediasi dana dari pihak yang memiliki dana (fund supplier) kepada pihak yang membutuhkan (fund user). bank syariah diperkenankan mengumpulkan dana dari masyarakat dalam bentuk deposito dan menyalurkan dana tersebut kepada masyarakat dalam bentuk kredit atau pembiayaan. Selain itu bank syariah juga memproduksi jasa-jasa pelayanan yang dihasilkan ole bank konvensional, yaitu kiriman uang, inkaso, dan garansi bank.
a. Dasar-dasar teologis Operasional Bank Syariah
Salah satu perbedaan utama antara bank syariah dengan bank konvensional adalah bahwa bank syariah tidak menggunakan bunga sebagai mekanisme koordinasi antara bank dengan nasabah. Alas an teologisnya adalah syariah Islam mengharamkan riba, sesuai yang diajarkan Al-Qur’an dalam surat-surat:
 Ar-Ruum: 39, yang isinya:
“Dan sesuatu yang riba yang kamu berikan agar dia menambah harta manusia, maka riba itu tidak menambah pada sisi Alla. Dan, apa yang kamu berikan berupa zakat yang kamu maksudkan untuk mencapai keridhaan Allah, maka (yang berbuat demikian) itulah orang-orang yang melipatgandakan (pahalanya).”
 Ali-Imran: 130, yang isinya:
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan riba dengan berlipat ganda dan bertakwalah kepada Allah, supaya kamu mendapat keberuntungan.”
Kedua kutipan ayat Al-Qur’an di atas menunjukkan bahwa riba bukan saja menunjukkan sifat jahat, tetapi juga berdampak buruk bagi sesama manusia, khususnya mereka yang miskin atau mengalami kesulitan keuangan. Dengan demikian pelarangan riba menghindarkan manusia dari berbuat jahat terhadap sesamanya yang sedang mengalami kesulitan. Larangan riba juga sekaligus menghindarkan manusia yang seharusnya ditolong dari eksploitasi oleh sesamanya.
b. Mekanisme Operasional Bank Syariah
Sebagaimana halnya bank konvensional, orientasi bank syariah juga adalah untuk memperoleh laba. Namun laba bukanlah satu-satunya tujuan yang ingin dicapai. Laba yang diperoleh tersebut kemudian didistribusikan kembali. Dari jenis pendistribusiannya, ada dua kelompok laba, yaitu laba yang sepenuhnya hak bank syariah dan laba yang dibagikan antara bank syariah dengan nasabah.
Laba yang merupakan hak sepenuhnya bank syariah merupakan laba yang diperoleh dari jasa-jasa yang dihasilkan bank, yaitu kiriman uang, inkaso, dan bank garansi. Sementara itu, laba yang dibagikan antara bang syariah dengan nasabah pemilik dana adalah laba yang diperoleh dari produk-produk pembiayaan dan simpanan. Laba tersebut diperoleh dari marjin pada produk pembiayaan jual beli, Murabahah Angsuran dan Murabahah Tunai. Selain dari marjin, laba juga diperoleh dari bagi hasil para pengguna dana Mudharabah dan Musyarakah serta jual beli Ijarah bai ut Takjiri.
Sebagai halnya bank konvensional, bahan baku utama bank syariah adalah uang yang diperoleh dari beberapa sumber dana, yaitu Ekuitas, Giro Wadiah, Tabungan Mudharabah dan Deposito Mudharabah.
Sekalipun perbedaan utama bank syariah dengan bank konvensional adalah dalam hal penerapan bunga sebagai mekanisme koordinasi, para ahli ekonomi syariah menyebutkan beberapa perbedaan lain antara bank syariah dengan bank konvensional, yaitu:
 Bank syariah tidak melaksanakan transaksi pinjam-meminjam uang berdasarkan bunga dalam segala bentuknya, melainkan melalui system bagi hasil dengan nasabahnya.
 Hubungan antara bank syariah dengan nasabahnya tidak berupa hubungan debitur-kreditur, tetapi merupakan hubungan partisipasi dalam menanggung resiko dan menerima hasil dari suatu perjanjian bisnis.
 Bank syariah memisahkan kedua jenis pendanaan supaya dapat dibedakan antara hasil yang diperoleh dari dana sendiri dengan hasil yang diperoleh dari dana simpanan yang diterimanya atas dasar prinsip bagi hasil.
 Bank syariah tidak memberikan pinjaman dalam bentuk uang tunai, tetapi bekerja atas dasar kemitraan seperi mudharabah, musyarakah, murahabah, atau ijarah.
 Bank syariah merupakan bank multiguna karena berperan sebagai bank komersial, bank investasi, dan bank pembangunan.
 Bank syariah memandang laba bukan merupakan satu-satunya tujuan, karena bank syariah senantiasa mengupayakan bagaimana masyarakat memanfaatkan sumber-sumber dana yang ada guna membangun kesejahteraan masyarakat.
 Bank syariah bekerja di bawah Dewan Pengawas Syariah.
Jadi, perbedaan mendasar antara perbankan syariah dengan perbankan konvensional adalah menyangkut aspek legal, struktur organisasi, usaha yang dibiayai, dan lingkungan kerja, serta tidak menerapkan system bunga. Prinsip-prinsip yang dianut oleh perbankan syariah adalah: pertama, larangan riba (bunga) dalam berbagai bentuk transaksi. Kedua, menjalankan bisnis dan aktivitas perdagangan yang berbasis pada perolehan keuntungan yang sah menurut syariah. Ketiga, memberikan zakat.
Dikategorikannya suku bunga bank sebagai riba, yang selanjutnya riba itu sendiri dipandang sebagai suatu yang haram dikarenakan oleh beberapa factor. Adapun factor-faktor tersebut telah dirumuskan oleh Prof. AM Sadeq (1989) dalam sebuah artikel “Factor Pricing and Income Distribution from An Islamic Perspective” yang dipublikasikan dalam Journal of Islamic Economics, yaitu:
 System ekonomi ribawi menimbulkan ketidakadilan, terutama bagi pemberi modal (bank) yang pasti untung tanpa mau tahu apakah para peminjam dan tersebut untung atau buntung. Bila usaha si peminjam modal bangkrut, dia tetap harus membayar kembali modal yang dipinjamkan dari pemodal beserta bunganya.
 Menyebabkan ketidakseimbangan. Keuntungan besar yang diperoleh para peminjam yang biasanya golongan industri raksasa (konglomerat), karena hanya membayar pinjaman modal beserta bunga dalam jumlah yang relative kecil dibanding keuntungan bisnisnya. Keuntungan yang besar itu tidak setimpal dengan yang dirasakan kebanyakan masyarakat menengah ke bawah yang menjadi pemberi modal (penyimpan uang di bank).
 Investasi terhambat akibat semakin tingginya tingkat bunga. Masyarakat akan cenderung menyimpan uangnya di bank karena keuntungan yang lebih besar akibat tingginya tingkat bunga.
 Bunga dianggap sebagai tambahan biaya produksi bagi para pebisnis yang bermodal pinjaman. Produk bisnisnya pun harus dihargai tinggi pula. Terjadilah inflasi akibat lemahnya daya beli konsumen.
4. Potensi dan Prospek Pasar Perbankan Syariah
Persaingan antar bank syariah, dan antara bank syariah dengan bank konvensional tidak lepas dari segmentasi yang ada di pasar perbankan di Indonesia. Segmentasi pasar perbankan dapat dibagi menjadi tiga segmen, yaitu segmen conventional, segmen floating mass, dan segmen shariah loyalist. Segmentasi ini berlaku baik untuk pasar pembiayaan maupun pasar pendanaan.

Dari segi pasar pembiayaan, perbedaan ketiga segmen ini terletak pada pandangannya terhadap biaya yang harus dibayar oleh nasabah suatu bank (pasar pembiayaan) atau penghasilan yang diterima (pasar pendanaan). Segmen konvensional akan memilih bunga karena bunga dianggap mencerminkan cost yang menguntungkan dari segi pembiayaan atau return yang menguntungkan dari segi pendanaan. Sedangkan segmen shariah loyalist akan memilih bank syariah, walaupun selisih rate bank syariah berada pada 1-2% di atas bunga bank konvensional dari segi pembiayaan, dan 1-2% lebih rendah dari segi pendanaan. Sebaliknya, segmen floating mass akan cenderung memilih biaya yang paling rendah atau return yang paling tinggi. Pemilihan bank syariah akan terjadi apabila selisih rate bank syariah lebih kecil atau lebih besar 2-3% dari bank konvensional.
Dari segi market size, segmen terbesar justru terdapat pada segmen floating mass. Sebaliknya, segmen terkecil terdapat pada segmen shariah loyalist. Menurut estimasi KARIM Business Consulting (2003), pasar segmen floating mass diperkirakan mencapai Rp 720 triliun. Sedangkan segmen conventional dan segmen shariah loyalist masing-masing mencapai Rp 240 triliun dan Rp 10 triliun.
Estimasi di atas bukan tanpa alasan, karena hasil sensus penduduk tahun 2000 menunjukkan jumlah penduduk Indonesia mencapai 201,2 juta. Jumlah ini jauh lebih besar dibanding tahun 1971, yang berdasarkan hasil sensus penduduk tahun 1971, jumlahnya sekitar 103,6 juta jiwa. Hal ini berarti tingkat pertambahan penduduk Indonesia selama 1971-2000 adalah 2,3% per tahun.
Pada tahun 2000 jumlah penduduk Indonesia yang beragama Islam adalah 177,5 juta jiwa atau sekitar 88,2% dari jumlah penduduk Indonesia. Dengan demikian, jumlah penduduk Indonesia yang beragama Islam masih merupakan porsi terbesar dari jumlah penduduk Indonesia.
Oleh karena itu, Bank Indonesia (BI) mulai memberikan perhatian lebih serius terhadap pengembangan perbankan syariah, yaitu membentuk satuan kerja khusus pada April 1999. Satuan kerja khusus ini menangani penelitian dan pengembangan bank syariah (Tim Penelitian dan Pengembangan Bank Syariah di bawah Direktorat Penelitian dan Pengaturan Perbankan) yang menjadi cikal bakal bagi Biro Perbankan Syariah yang dibentuk pada 31 Mei 2001, dan sekarang resmi menjadi Direktorat Perbankan Syariah Bank Indonesia sejak Agustus 2003.
Dengan semakin banyaknya jumlah bank syariah, struktur pasar syariah pun berubah dari monopoli menjadi oligopoly, yang menyebabkan semakin tingginya tingkat persaingan di antara bank syariah. Sehingga, agar mampu bersaing dengan bank konvensional, bank syariah pun merubah strateginya. Sampai dengan Desember 2003, pemain dalam industry perbankan syariah terdiri dari dua bank umum syariah (BUS) dan delapan unit usaha syariah (UUS) dari bank umum konvensional (BUK) yang seluruhnya memiliki jaringan kantor berjumlah 119 kantor cabang syariah (KCS), serta 84 Bank Perkreditan Rakyat Syariah (BPRS). Peningkatan jumlah pemain dalam industry perbankan syariah terlihat cukup pesat bila dibandingkan keadaan akhir tahun 1998 yang hanya berjumlah satu BUS dengan delapan KCS dan 78 BPRS.
Sampai dengan bulan Maret 2004, pemain dalam industry perbankan syariah terdiri dari dua BUS dan 11 UUS dari BUK. BUS dan UUS yang sudah ada saat ini adalah Bank Muamalat, Bank Syariah Mandiri, Bank Rakyat Indonesia Syariah, BNI Syariah, Bank Danamon Syariah, Bank IFI Syariah, Bank Jabar Syariah, Bank Bukopin Syariah, Bank Internasional Indonesia Syariah, HSBC, Ltd dan Bank DKI.

5. Simpulan
a. bahwa bank syariah sebagai salah satu lembaga keuangan bank di samping bank konvensional, diakui kemudian diatur dalam perundang-undangan sejak tahun 1992;
b. bahwa bank syariah tidak menggunakan bunga kepada nasabahnya melainkan dengan system bagi hasil yang terlepas dari riba;
c. bahwa bank syariah berpotensi sangat besar untuk pengembangannya di masa-masa akan datang.

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

Tetu, penganan wajib ala Palu


Tetu sepertinya telah menjadi menu buka puasa wajib bagi sebagian besar masyarakat kota Palu di saat bulan ramadhan. Bagaimana tidak, hampir tidak ada pedagang jajanan buka puasa yang tidak menyediakan kue ini di antara jejeran dagangan mereka. Bahkan, tetu selalu tersedia dalam jumlah yang lebih besar, namun lebih dulu laku dibanding jajanan lainnya. Sebagai tambahan, tetu juga selalu ada di setiap acara berbuka puasa yang digelar oleh kantor-kantor, organisasi-organisasi, maupun individu yang ada di kota Palu. Hal-hal tersebut cukup membuktikan bahwa tetu memang memiliki daya tarik sendiri untuk dikonsumsi sebagai menu buka puasa.
Tetu, Kue dengan adonan dari tepung terigu, santan, dan gula (putih maupun merah) yang dikukus dalam cetakan daun pandan ini tak lain merupakan salah satu penganan khas Palu. Cetakan dari daun pandan menjadikan Kue ini terkesan lebih unik, bahkan masyarakat kota Palu seringkali menamai kue tetu dengan sebutan “Kue Perahu”. yupZz,,,, daun pandan tersebut memang dibentuk sedemikian rupa sehingga menyerupai perahu, dan see,,, kue tetu pun menjadi kue yang paling diburu saat bulan ramadhan tiba.
Selain keunikan penyajiannya, faktor utama yang mempengaruhi tingginya minat konsumen akan kue tetu ini tentunya adalah cita rasa dari kue tetu itu sendiri. Tetu memang memiliki rasa yang gurih, dan enak di kerongkongan. Terkadang,untuk menambah cita rasa dari kue tetu, orang-orang menambahkan durian atau nangka (bahkan kedua-duanya) ke dalam adonan, sehingga terdapat kesan baru dalam kue tetu itu sendiri.

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS